Jumat, 20 Juli 2012

Arti Hidup


Arti Hidup


Di kala ku sendiri…
Sering ku berpikir
Apakah arti hidupku?
Akankah berlangsung seperti ini saja hingga akhirnya?
Lurus… Datar… Rutin…
Seperti penggaris panjang yang tiada ujung pangkalnya.
Pernahkah kau berpikir
Bahwa dengan adanya batu dalam hidupmu…
Disamping kau akan tersandung dan jatuh…
Kau akan semakin berkembang dan maju…
Karena pengalaman itu merupakan seseuatu yang….
Tiada dapat diuangkan… tidak mampu dinyatakan dalam kalimat seindah apapun…
Bahkan seorang Shakespeare pun tak akan mampu
Menggoreskan pena dan menuangkannya kedalam kisah apapun…


Dalam kesendirian aku memandang langit – langit kamarku..
Dalam kesunyian aku memahami hal-hal yang tidak dipahami oleh orang lain..
Dalam kesepian aku merasakan bermacam-macam batu menyandung langkah kakiku
Namun…
Dalam keadaan seperti inilah aku mencoba memahami arti hidupku…



Rabu, 23 November 2011

Good Story --

Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya


Sebagian orang memang kelihatannya tidak ingin untuk terbebas dari masalah. Jika mereka sedang tidak punya cukup masalah yang bisa dikhawatirkan, mereka akan menyetel sinetron televisi untuk mengkhawatirkan persoalan tokoh-tokoh fiksi di dalamnya. Banyak juga yang merasa bahwa ketegangan membuat mereka lebih “hidup”; mereka menganggap penderitaan sebagai hal yang mengasyikkan. Agaknya mereka tidak ingin bahagia, karena mereka mau-maunya begitu melekat pada beban mereka.
Dua orang biksu merupakan teman dekat sepanjang hidup mereka. Setelah mereka meninggal, satu terlahir sebagai dewa di sebuah alam surga yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di seonggok tahi.
Sang dewa segera merasa kehilangan kawan lamanya dan bertanya-tanya dimanakah dia terlahir kembali. Dia tidak bisa menemukannya di alam surga yang ditinggalinya, lalu dia pun mencari-cari temannya di alam-alam surga yang lain. Temannya tidak ada disana pula. Dengan kekuatan surgawinya, sang dewa mencari temannya di dunia manusia, namun tidak ketemu juga. Pastilah, pikirnya, temanku tidak akan terlahir di alam hewan, tetapi dia memeriksa alam hewan juga, siapa tahu? Masih saja tidak ada tanda-tanda temannya. Lalu, berikutnya, sang dewa mencari ke dunia serangga dan jasad renik, dan, kejutan besar baginya…, dia menemukan temannya terlahir sebagai seekor cacing di dalam seonggok tahi yang menjijikkan!

Ikatan persahabatan mereka begitu kuat, sampai-sampai melewati batas kematian. Sang dewa merasa dia harus membebaskan kawan lamanya ini dari kelahirannya yang mengenaskan tersebut, entah karma apa yang membawanya ke situ.

Sang dewa lalu muncul di depan onggokan tahi tersebut dan memanggil, “Hei, cacing! Apakah kamu ingat aku? Kita dahulu sama-sama jadi biksu pada kehidupan sebelumnya dan kamu adalah teman terbaikku. Aku terlahir kembali di alam surga yang menyenangkan, sementara kamu terlahir di tahi sapi yang menjijikkan ini. Tetapi jangan khawatir, karena aku akan membawamu ke surga bersamaku. Ayolah, kawan lama!”“Tunggu dulu!” kata si cacing,”apa sih hebatnya ‘alam surga’ yang kamu ceritakan itu? Aku sangat bahagia di sini,bersama tahi yang harum, nikmat, dan lezat ini. Terima kasih banyak!”
“Kamu tidak mengerti!” kata sang dewa, lalu dia melukiskan betapa menyenangkan dan bahagianya berada di alam surga.“Apakah di sana ada tahi?” tanya si cacing,to the point.
“Tentu saja tidak ada!” dengus sang dewa.“Kalau begitu, aku emoh pergi!” jawab si cacing mantap. “Sudah ya!”
Dan si cacing pun membenamkan dirinya ke tengah onggokan tahi tersebut.

Sang dewa berpikir, mungkin kalau si cacing sudah melihat sendiri alam surga itu, barulah dia akan mengerti. Lalu sang dewa menutup hidungnya dan menjulurkan tangannya ke dalam tahi itu, mencari-cari si cacing. Begitu ketemu, dia menariknya.

Hei! Jangan ganggu aku!” teriak si cacing. “Tolooong! Darurat! Aku diculiiiik!” Cacing kecil yang licin itu menggeliat dan meronta sampai terlepas, lalu kembali menyelam ke onggokan tahi untuk bersembunyi.

Sang dewa yang baik hati ini kembali meronggohkan tangannya ke dalam tahi, dapat, dan mencoba menariknya keluar sekali lagi. Nyaris bisa keluar, tetapi karena si cacing berlumuran lendir dan terus menggeliat membebaskan diri, akhirnya terlepas lagi untuk kedua kalinya, dan bersembunyi makin dalam lagi di dalam tahi. Seratus delapan kali sang dewa mencoba mengeluarkan cacing malang itu dari onggokan tahinya, namun si cacing begitu melekat dengan tahi kesayangannya, sehingga dia terus meloloskan diri!
Akhirnya, sang dewa menyerah dan kembali ke surga, meninggalkkkan si cacing bodoh di dalam onggokan kotoran kesayangannya.
Nah, berakhir sudah kisah”Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya” ini. Kita dapat memetik suatu makna tersendiri, yakni :
Si Cacing diibaratkan kita-kita manusia; kotoran diibaratkan nikmat kehidupan dunia gemerlap nan fana ini. Kita tinggal dan bersenang-senang di dalamnya, berpandangan bahwa kenikmatan duniawi adalah kebahagiaan yang lumrah kita lekati, bahkan layak kita perjuangkan dengan segala cara dan segala harga. Sementara itu, kita bersikap apatis, apriori, dan pesimis terhadap adanya jenis kebahagiaan lain yang lebih luhur dan lebih langgeng, tanpa berupaya untuk”dating dan melihat”sendiri.
                                                                               ----------------